Mohammad Roem. Namanya menjadi terkenal pada tahun 1940-an. Beliau menjadi ketua juru perundingan RI dengan Belanda pada perjanjian Roem- Royen. Belanda sendiri diwakili oleh Van Royen, seorang diplomat yang bisa dikatakan tidak pernah kalah ketika berunding. Perjanjian Roem-Royen ini dinilai berhasil karena perjanjian ini menghasilkan KMB (Konferensi Meja Bundar) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Namun siapakah Mohammad Roem itu?
Beliau lahir pada Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah. Beliau memulai pendidikannya di Volkschool (Sekolah rakyat) dan melanjutkannya ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Beliau tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924. Beliau pindah ke Pekalongan karena di Pekalongan tersebar wabah-wabah penyakit seperti kolera, influenza dan lain-lain.
Semangat perjuangan telah tampak pada diri Roem ketika Roem di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!” (Dasar Pribumi!). Roem merasa tersinggung dihardik seperti itu. Roem merasa dihina dan dilecehkan. Penghinaan belum berhenti sampai di situ. Roem teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk. Semua peristiwa itu membekas di dalam diri Roem. Roem bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tidak dihina lagi oleh bangsa asing.
Setelah tamat dari HIS Pekalongan, Roem mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA Jakarta. Tetapi, karena pada tahun 1927, STOVIA dihapuskan. Roem melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemene Middlebare School)
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Roem kemudian sempat meneruskan pendidikannya ke GHS yaitu sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba tapi tidak berhasil lulus ujian meskipun sudah mencoba sebanyak dua kali. Akhirnya, Roem pun berhenti dan pada tahun 1932, beliau masuk ke RHS di Jakarta . Dari perguruan tinggi tersebut Roem berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Roem membuat skripsi tentang Hukum Adat Minangkabau
Moh.Roem mulai mengenal dunia organisasi pemuda atau pelajar, seperti Jong Java (1924) dan Jong Islamieten Bond (1925) yang berkembang di lingkungan STOVIA. Berdirinya JIB memberikan kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut organisasi yang berasakan Islam. Bagi Mohammad Roem ada satu hal penting dalam perjalanannya di JIB, yaitu perkenalannya dengan Haji Agus Salim.
Hubungan yang dekat antara Mohammad Roem dengan Haji Agus Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohammad Roem di kemudian hari. Bersama Agus Salim, Mohammad Roem mengikuti PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang nantinya akan terbentuk Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim yang bernama Barisan Penyadar PSII.
Pada pendudukan Jepang, terjadi pembubaran partai politik. Akibatnya kondisi pergerakan nasional menjadi melemah. Hal ini dirasakan pula oleh Mohammad Roem. Akhirnya Mohammad Roem melanjutkan karirnya sebagai pengacara. Kemudian Mohammad Roem diangkat menjadi Kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang. Menurut Mohammad Roem, pengangkatannya berawal dari undangan menjadi anggota Barisan Pelopor Kampung Kwitang (berdiri di bawah Jawa Hokokai). Mulai dari sini, Mohammad Roem kembali berkecimpung di dunia politik.
Selain dalam Barisan Pelopor, Mohammad Roem juga aktif dalam Barisan Hizbullah (berdiri di bawah Masyumi) yang didirikan pada 14 Oktober 1944. Hizbullah merupakan organisasi khas pemuda islam yang didukung oleh Jepang, disamping organisasi lain yang memperoleh latihan militer Keibodan, Seinendan yang bisa dimasuki oleh kalangan pemuda Islam. Keterlibatan Mohammad Roem pada Barisan Hizbullah berhenti pada pembubaran Masyumi.
Peran Mohammad Roem setelah merdeka dimulai dari menjadi anggota KNIP. Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, hanya 15 orang yang termasuk dari kalangan Islam. Mohammad Roem adalah salah satu dari kalangan tersebut. Mohammad Roem kemudian memperoleh kedudukan sebagai KNI Jakarta Raya. Sebagai ketua KNI Jakarta Raya, Mohammad Roem banyak berhubungan dengan Walikota Jakarta Raya, Suwirjo. Salah satu bentuk kerja sama Mohammad Roem dan Suwirjo adalah peristiwa rapat raksasa di Lapangan Ikada.
Selama Masyumi berdiri, Mohammad Roem banyak terlibat dalam bidang pemerintahan yang berkali-kali mendudukkannya sebagai menteri dalam berbagai kabinet. Mohammad Roem lebih banyak menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah dan tidak terlalu menonjol dalam kepartaian secara langsung.
Baru tiga bulan aktif dalam kepengurusan Masyumi, Mohammad Roem terpaksa melepaskan jabatannya karena berkaitan dengan pengangkatan dirinya sebagi menteri dalam Kabinet Sjahrir III. Ketika Kabinet Sjahrir III jatuh dan digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem ikut duduk dalam kabinet itu sebagai menteri dalam negeri. Mohammad Roem juga menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) setelah sebelumnya sibuk berunding dengan Belanda yang membuahkan pernyataan Roem-Royen dan KMB.
Pada Kabinet Natsir, Mohammad Roem menjabat sebagai menteri luar negeri. Ketika Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Soekiman, Mohammad Roem tidak lagi duduk dalam kabinet. Mohammad Roem lebih kembali aktif dalam partai. Ketika Kabinet Soekiman jatuh dan digantikan oleh Kabinet Wilopo, Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kabinet Wilopo jatuh dan digantikan secara berturut-turut oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Burhanuddin Harahap. Mohammad Roem tidak duduk dalam kabinet tersebut. Setelah kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Mohammad Roem duduk kembali sebagai Wakil Perdana Menteri. Kedudukan Mohammad Roem dalam pemerintahan berakhir ketika kabinet ini jatuh. Setelah itu, Mohammad Roem lebih mencurahkan perhatiannya pada Masyumi sampai partai ini bubar pada 13 September 1960 sehubungan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no. 200/1960 tanggal 17 Agustus 1960.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Roem kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, Roem bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai sejenis Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Namun Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga dapat menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, dengan terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Pada kabinet Sjahrir II Mohammad Roem bersedia menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati. Dalam kabinet Amir Sjarifuddin pun Mohammad Roem menjadi anggota delegasi perjanjian Renville. Untuk selanjutnya Mohammad Roem terpilih menjadi ketua delegasi perjanjian selanjutnya (perjanjian Roem-Royen). Perjanjian Roem-Royen merupakan karya puncak Mohammad Roem dalam diplomasi. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Mohammad Roem terpilih sebagai wakil ketua delegasi
Mohammad Roem meninggal pada tanggal 24 September 1983 dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Mohammad Roem meninggal karena gangguan paru-paru. Untuk kehidupan pribadinya sendiri, Mohammad Roem menikah dengan Markisah Dahlia di Malang pada tanggal 11 Juni 1932]. Mereka dikarunia dua orang anak yang bernama Roemoso dan Rumeisa.
Source :
http://sejarahakademika.blogspot.co.id/2013/08/kiprah-mohamad-roem-sang-pejuang.html
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa-dendam/
Beliau lahir pada Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah. Beliau memulai pendidikannya di Volkschool (Sekolah rakyat) dan melanjutkannya ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Beliau tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924. Beliau pindah ke Pekalongan karena di Pekalongan tersebar wabah-wabah penyakit seperti kolera, influenza dan lain-lain.
Semangat perjuangan telah tampak pada diri Roem ketika Roem di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!” (Dasar Pribumi!). Roem merasa tersinggung dihardik seperti itu. Roem merasa dihina dan dilecehkan. Penghinaan belum berhenti sampai di situ. Roem teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk. Semua peristiwa itu membekas di dalam diri Roem. Roem bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tidak dihina lagi oleh bangsa asing.
Setelah tamat dari HIS Pekalongan, Roem mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA Jakarta. Tetapi, karena pada tahun 1927, STOVIA dihapuskan. Roem melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemene Middlebare School)
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Roem kemudian sempat meneruskan pendidikannya ke GHS yaitu sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba tapi tidak berhasil lulus ujian meskipun sudah mencoba sebanyak dua kali. Akhirnya, Roem pun berhenti dan pada tahun 1932, beliau masuk ke RHS di Jakarta . Dari perguruan tinggi tersebut Roem berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Roem membuat skripsi tentang Hukum Adat Minangkabau
Moh.Roem mulai mengenal dunia organisasi pemuda atau pelajar, seperti Jong Java (1924) dan Jong Islamieten Bond (1925) yang berkembang di lingkungan STOVIA. Berdirinya JIB memberikan kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut organisasi yang berasakan Islam. Bagi Mohammad Roem ada satu hal penting dalam perjalanannya di JIB, yaitu perkenalannya dengan Haji Agus Salim.
Hubungan yang dekat antara Mohammad Roem dengan Haji Agus Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohammad Roem di kemudian hari. Bersama Agus Salim, Mohammad Roem mengikuti PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang nantinya akan terbentuk Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim yang bernama Barisan Penyadar PSII.
Pada pendudukan Jepang, terjadi pembubaran partai politik. Akibatnya kondisi pergerakan nasional menjadi melemah. Hal ini dirasakan pula oleh Mohammad Roem. Akhirnya Mohammad Roem melanjutkan karirnya sebagai pengacara. Kemudian Mohammad Roem diangkat menjadi Kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang. Menurut Mohammad Roem, pengangkatannya berawal dari undangan menjadi anggota Barisan Pelopor Kampung Kwitang (berdiri di bawah Jawa Hokokai). Mulai dari sini, Mohammad Roem kembali berkecimpung di dunia politik.
Selain dalam Barisan Pelopor, Mohammad Roem juga aktif dalam Barisan Hizbullah (berdiri di bawah Masyumi) yang didirikan pada 14 Oktober 1944. Hizbullah merupakan organisasi khas pemuda islam yang didukung oleh Jepang, disamping organisasi lain yang memperoleh latihan militer Keibodan, Seinendan yang bisa dimasuki oleh kalangan pemuda Islam. Keterlibatan Mohammad Roem pada Barisan Hizbullah berhenti pada pembubaran Masyumi.
Peran Mohammad Roem setelah merdeka dimulai dari menjadi anggota KNIP. Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, hanya 15 orang yang termasuk dari kalangan Islam. Mohammad Roem adalah salah satu dari kalangan tersebut. Mohammad Roem kemudian memperoleh kedudukan sebagai KNI Jakarta Raya. Sebagai ketua KNI Jakarta Raya, Mohammad Roem banyak berhubungan dengan Walikota Jakarta Raya, Suwirjo. Salah satu bentuk kerja sama Mohammad Roem dan Suwirjo adalah peristiwa rapat raksasa di Lapangan Ikada.
Selama Masyumi berdiri, Mohammad Roem banyak terlibat dalam bidang pemerintahan yang berkali-kali mendudukkannya sebagai menteri dalam berbagai kabinet. Mohammad Roem lebih banyak menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah dan tidak terlalu menonjol dalam kepartaian secara langsung.
Baru tiga bulan aktif dalam kepengurusan Masyumi, Mohammad Roem terpaksa melepaskan jabatannya karena berkaitan dengan pengangkatan dirinya sebagi menteri dalam Kabinet Sjahrir III. Ketika Kabinet Sjahrir III jatuh dan digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem ikut duduk dalam kabinet itu sebagai menteri dalam negeri. Mohammad Roem juga menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) setelah sebelumnya sibuk berunding dengan Belanda yang membuahkan pernyataan Roem-Royen dan KMB.
Pada Kabinet Natsir, Mohammad Roem menjabat sebagai menteri luar negeri. Ketika Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Soekiman, Mohammad Roem tidak lagi duduk dalam kabinet. Mohammad Roem lebih kembali aktif dalam partai. Ketika Kabinet Soekiman jatuh dan digantikan oleh Kabinet Wilopo, Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kabinet Wilopo jatuh dan digantikan secara berturut-turut oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Burhanuddin Harahap. Mohammad Roem tidak duduk dalam kabinet tersebut. Setelah kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Mohammad Roem duduk kembali sebagai Wakil Perdana Menteri. Kedudukan Mohammad Roem dalam pemerintahan berakhir ketika kabinet ini jatuh. Setelah itu, Mohammad Roem lebih mencurahkan perhatiannya pada Masyumi sampai partai ini bubar pada 13 September 1960 sehubungan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no. 200/1960 tanggal 17 Agustus 1960.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Roem kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, Roem bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai sejenis Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Namun Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga dapat menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, dengan terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Pada kabinet Sjahrir II Mohammad Roem bersedia menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati. Dalam kabinet Amir Sjarifuddin pun Mohammad Roem menjadi anggota delegasi perjanjian Renville. Untuk selanjutnya Mohammad Roem terpilih menjadi ketua delegasi perjanjian selanjutnya (perjanjian Roem-Royen). Perjanjian Roem-Royen merupakan karya puncak Mohammad Roem dalam diplomasi. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Mohammad Roem terpilih sebagai wakil ketua delegasi
Mohammad Roem meninggal pada tanggal 24 September 1983 dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Mohammad Roem meninggal karena gangguan paru-paru. Untuk kehidupan pribadinya sendiri, Mohammad Roem menikah dengan Markisah Dahlia di Malang pada tanggal 11 Juni 1932]. Mereka dikarunia dua orang anak yang bernama Roemoso dan Rumeisa.
Source :
http://sejarahakademika.blogspot.co.id/2013/08/kiprah-mohamad-roem-sang-pejuang.html
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa-dendam/