K.H Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh perjuangan di Indonesia. Beliau lahir pada tanggal 10 April 1875 di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng Jombang. Beliau adalah pendiri Nadhatul Ulama (NU) dan pesantren Tebuireng. Ayahnya bernama Kyai Asyari, seorang pemimpin pesantren keras (pondok pesantren Asy’ariyah) di daerah selatan Jombang dan ibunya bernama Halimah. Beliau adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara. Dari garis ibu, beliau merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, ayah Jaka Tingkir yang menjadi raja Pajang (keturunan kedelapan Jaka Tingkir)
Sejak kecil jiwa kepemimpinan K.H Hasyim Asy’ari sudah muncul. Ia kerap tampil sebagai pemimpin. Sejak umur 13 tahun, beliau sering membantu ayahnya mengajar di pesantren. Tak jarang pula beliau mengajar anak-anak yang lebih besar dari beliau. Pada usia 15 tahun beliau mulai berkelana memperdalam ilmu agama. Beliau berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya karena beliau belum puas dengan ilmu yang dikecapnya.
Berikut ini adalah beberapa pesantren yang menjadi tempat belajarnya:
Kerinduan akan tanah suci menyeruputi hati beliau. Akhirnya beliau kembali ke tanah suci bersama adiknya, Anis. Kenangan baik di tanah suci pun bermunculan. Namun, semua kenangan itu justru memberikan semangat baru untuk beliau dalam memperdalam ilmunya. Beliau mendatangi beberapa ulama untuk tempat beliau belajar, diantaranya: Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Setelah kembali dari Mekkah, beliau mengajar di Pesantren Ngedang, Ketika beliau ada di Jombang, beliau berencana mendirikan sebuah pesantren. Akhirnya beliau bersama Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya mendirikan Pesantren Tebuireng. Salah satu tradisi di Pesantren Tebuireng ini adalah menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” yang dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan.
Selain aktif dalam mengajar dan berbagai kegiatan, Kyai Hasyim juga merupakan pendiri NU (Nadhatul Ulama). Beliau mendirikan Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya. Asas dan Tujuannya adalah: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. Kyai Hayim juga menyusun Qanun Asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan paham Ahlu Sunah wal Jama’ah. Pada dasawarsa pertama NU diorientasikan pada kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kegiatan di sini diorientasikan pada kegiatan pengajaran, pengajian dan tabligh. Namun pada dasawarsa kedua NU diorientasikan pada permasalahan nasional. NU pernah menjadi partai politik peserta pemilu yang kemudian bersatu dengan PPP. Hal ini dianulir oleh Muktamar Situbono yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan
Kyai Hasyim juga dikenal sebagai tokoh perjuangan. Pada tahun 1937, beliau pernah didatangai Belanda untuk diberikan bintang emas dan perak sebagai tanda kehormatan. Namun Kyai Hasyim menolaknya. Tahun 1940-an merupakan tahun terberat untuk Kyai Hasyim. Beliau ditahan oleh Jepang dan disiksa berat hingga jari tangannya mengalami kecacatan. Kemuadian beliau dipenjara di Jombang dan dipindahkan ke Surabaya. Pada tahun 1945, Kyai Hasyim terpilih menjadi ketua umum partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Meski Kyai Hasyim masuk ke dalam ranah politik, beliau tetap mengajar hingga beliau meninggal pada tahun 1947.
Dari sumber-sumber yang saya baca, saya menyimpulkan bahwa Kyai Hasyim menikah empat kali. Yang pertama Kyai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kyai Ya’qub. Beliau menikah dengan Nyai Nafisah ketika beliau berumur 21 tahun. Beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Abdullah. Namun kebahagiaan Kyai Hasyim tak berlangsung lama. Nyai Nafisah dan Abdullah meninggal setelah Kyai Hasyim menetap 7 bulan di Mekkah. Yang kedua beliau menikah dengan salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati (tidak disebutkan namanya) pada saat beliau berada di Kediri. Namun pernikahan beliau yang ini tidak berlangsung lama. Yang ketiga beliau menikah dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan Kyai Hasyim yang ini, beliau dikaruniai 10 putra dan putri, yaitu:
Sejak kecil jiwa kepemimpinan K.H Hasyim Asy’ari sudah muncul. Ia kerap tampil sebagai pemimpin. Sejak umur 13 tahun, beliau sering membantu ayahnya mengajar di pesantren. Tak jarang pula beliau mengajar anak-anak yang lebih besar dari beliau. Pada usia 15 tahun beliau mulai berkelana memperdalam ilmu agama. Beliau berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya karena beliau belum puas dengan ilmu yang dikecapnya.
Berikut ini adalah beberapa pesantren yang menjadi tempat belajarnya:
- Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang
- Pesantren Wonokoyo di Probolinggo
- Pesantren Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
- Pesantren Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kyai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Kerinduan akan tanah suci menyeruputi hati beliau. Akhirnya beliau kembali ke tanah suci bersama adiknya, Anis. Kenangan baik di tanah suci pun bermunculan. Namun, semua kenangan itu justru memberikan semangat baru untuk beliau dalam memperdalam ilmunya. Beliau mendatangi beberapa ulama untuk tempat beliau belajar, diantaranya: Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Setelah kembali dari Mekkah, beliau mengajar di Pesantren Ngedang, Ketika beliau ada di Jombang, beliau berencana mendirikan sebuah pesantren. Akhirnya beliau bersama Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya mendirikan Pesantren Tebuireng. Salah satu tradisi di Pesantren Tebuireng ini adalah menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” yang dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan.
Selain aktif dalam mengajar dan berbagai kegiatan, Kyai Hasyim juga merupakan pendiri NU (Nadhatul Ulama). Beliau mendirikan Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya. Asas dan Tujuannya adalah: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. Kyai Hayim juga menyusun Qanun Asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan paham Ahlu Sunah wal Jama’ah. Pada dasawarsa pertama NU diorientasikan pada kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kegiatan di sini diorientasikan pada kegiatan pengajaran, pengajian dan tabligh. Namun pada dasawarsa kedua NU diorientasikan pada permasalahan nasional. NU pernah menjadi partai politik peserta pemilu yang kemudian bersatu dengan PPP. Hal ini dianulir oleh Muktamar Situbono yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan
Kyai Hasyim juga dikenal sebagai tokoh perjuangan. Pada tahun 1937, beliau pernah didatangai Belanda untuk diberikan bintang emas dan perak sebagai tanda kehormatan. Namun Kyai Hasyim menolaknya. Tahun 1940-an merupakan tahun terberat untuk Kyai Hasyim. Beliau ditahan oleh Jepang dan disiksa berat hingga jari tangannya mengalami kecacatan. Kemuadian beliau dipenjara di Jombang dan dipindahkan ke Surabaya. Pada tahun 1945, Kyai Hasyim terpilih menjadi ketua umum partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Meski Kyai Hasyim masuk ke dalam ranah politik, beliau tetap mengajar hingga beliau meninggal pada tahun 1947.
Dari sumber-sumber yang saya baca, saya menyimpulkan bahwa Kyai Hasyim menikah empat kali. Yang pertama Kyai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kyai Ya’qub. Beliau menikah dengan Nyai Nafisah ketika beliau berumur 21 tahun. Beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Abdullah. Namun kebahagiaan Kyai Hasyim tak berlangsung lama. Nyai Nafisah dan Abdullah meninggal setelah Kyai Hasyim menetap 7 bulan di Mekkah. Yang kedua beliau menikah dengan salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati (tidak disebutkan namanya) pada saat beliau berada di Kediri. Namun pernikahan beliau yang ini tidak berlangsung lama. Yang ketiga beliau menikah dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan Kyai Hasyim yang ini, beliau dikaruniai 10 putra dan putri, yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
- Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin.
- Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat
- Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah
- Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal.
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah
- Ziyadah Ta’liqo