Pra aksara atau prasejarah atau nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu zaman, dimana zaman ini belum di temukan tulisan. Sehingga komunikasi pada zaman ini masih menggunakan tradisi lisan (oral tradition)
Batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa tersebut. Salah satu contoh yaitu bangsa Mesir sekitar tahun 4000 SM masyarakatnya sudah mengenal tulisan, sehingga pada saat itu, bangsa Mesir sudah memasuki zaman sejarah. Zaman prasejarah di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti yang berbentuk yupa yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Berdasarkan perkembangannya zaman pra-sejarah dibagi menjadi 2 yaitu: zaman batu dan zaman logam
Zaman Batu
Zaman batu adalah zaman paling tua dalam sejarah. Disebut zaman batu karena sebagian besar alat-alat yang digunakan pada zaman ini berasal dari batu
Berdasarkan perkembangannya, zaman batu dibagi menjadi 4 zaman, yaitu:
A. Zaman Paleolithikum (zaman batu)
Zaman Paleolitikum adalah zaman yang paling tua dalam zaman prasejarah. Alat yang digunakan pada zaman ini masih sangat kasar. Dominannya, alat yang digunakan pada zaman ini berasal dari batu,kayu dan tulang. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Zaman paleolitikum diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium).
Jika dilihat dari mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makadan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Zaman ini juga memiliki 2 kebudayaan, yaitu Pacitan dan Ngandong.
Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang zaman paleolitikum
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soloensis.
a. Pithecanthropus Erectus
Ditemukan pertama kali oleh Eugene Dubois, di daerah Trinil pada tahun 1891. Nama pithecanthropus sendiri memiliki arti “manusia-kera yang dapat berdiri”
b. Homo Wajakensis
Fosil Homo wajakensis ditemukan oleh Van Riestchoten pada tahun 1889 di Desa Wajak, Tulungagung. Fosil ini kemudian diteliti oleh Eugene Dubois. Temuan fosil ini merupakan temuan fosil manusia purba pertama yang dilaporkan berasal dari Indonesia.
c. Homo Soloensis
Ditemukan oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan Von Koenigswald pada tahun 1931—1933 di daerah Ngandong
d. Meganthropus Paleojavanicus
Ditemukan oleh Von Koenigswald di Sangiran, lembah Bengawan Solo pada tahun 1936-941.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong). Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
4. Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
2. Zaman Mesolitikum (zaman batu tengah)
Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa zaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbudan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yaitu antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
b. Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
c. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang ditemukan dalam bukit kerang, ditemukan juga sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan para arkeolog itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
a. Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, Oleh karena itu Fritz Sarasin dan Paul Sarasin berpendapat bahwa suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkidan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kedang-kedangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
3. Zaman Megalithikum (zaman batu besar)
Megalitikum merupakan kebudayaan yang menghasilkan bangudan-bangudan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Bangudan megalitikum ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormati dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Kebudayaan megalitikum muncul pada zaman neolitikum dan berkembang luas pada zaman logam
Peninggalan megalitikum hampir menyebar di seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai sekarang pun masih ditemukan tradisi megalitikum seperti di Pulau Nias, Sumba, Flores, dan Toraja. Hasil-hasil kebudayaan zaman batu besar adalah sebagai berikut :
1. Punden berundak
Punden berundak adalah bangudan pemujaan para leluhur berupa bangudan bertingkat dengan bahan dari batu, di atasnya biasa didirikan menhir. Bangudan ini banyak dijumpai di Kosala dan Arca Domas Banten, Cisolok Sukabumi, serta Pugungharjo di Lampung. Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupaan dasar pembuatan candi, keratin atau bangudan keagamaan lainnya.
2. Menhir (men = batu, hir = tegak/berdiri)
Menhir ialah tiang atau tugu yang terbuat dari batu yang didiikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga menjadi benda pujaan dan ditempatkan pada suatu tempat. Fungsi menhir adalah sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, sebagai tempat memperingati seseorang (kepala suku) yang telah meninggal, dan sebagai tempat menampung kedatangan roh.
Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Dalam upacara pemujaan, menhir juga berfungsi sebagai tempat untuk menambahkan hewan kurban. Tempat-tempat temuan menhir di Indonesia antara lain di : Pasemah (Sumatra Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala dan Lebak Sibedug, Leles, Karang Muara, Cisolok (Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa Timur), Trunyan dan Sembiran (Bali), Belu (Timor), Bada-Besoha, dan Toraja, Sulawesi.
3. Kubur peti batu
Kubur peti batu adalah peti jenazah yang terpendam di dalam tanah yang berbentuk persegi panjang, sisi, alas, dan tutupnya terbuat dari papan batu. Benda ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat.
4. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat dengan tutup berbentuk atap rumah. Bentuk dan fungsi waruga seperti sarkofagus, tetapi dengan penempatan posisi mayat jongkok terlipat. Waruga hanya dapat ditemukan di Minahasa.
5. Sarkofagus
Sarkofagus atau keranda adalah peti jenazah yang bentuknya seperti lesung, tetapi mempunyai tutup. Pembuatannya seperti lesung batu, tetapi bentuknya seperti keranda. Salah satu tempat penemuan sarkofagus adalah di Bali. Isinya tulang-belulang manusia, barang-barang perunggu dan besi, serta manik-manik. Sarkofagus juga ditemukan di Bondowoso, Jawa Timur. Untuk melindungi roh jasad yang sudah mati dari gangguan gaib, pada sarkofagus sering dipahatkan motif kedok/topeng dengan berbagai ekspresi. Sarkofagus dapat juga diartikan sebagai "perahu roh" untuk membawa roh berlayar ke dunia roh.
6. Dolmen (dol = meja, men = batu)
DolmenDolmen adalah meja batu besar dengan permukaan rata sebagai tempat meletakkan sesaji, sebagai tempat meletakkan roh, dan menjadi tempat duduk ketua suku agar mendapat berkat magis dari leluhurnya. Dolmen ada yang berkakikan menhir seperti yang ditemukan di Pasemah, Sumatra Selatan, ada juga yang digunakan sebagai kubur batu seperti yang ditemukan di Bondowoso dan di Merawan, Jember, Jawa Timur.
7. Arca atau patung
Arca atau patung adalah bangudan yang terbuat dari batu berbentuk binatang atau manusia yang melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan. Peninggalan megalitik ini banyak ditemukan di dataran tinggi Pasemah, yaitu pegunungan antara wilayah Palembang dan Bengkulu.
Penyelidikan di Pasemah ini dilakukan oleh Dr. Van der Hoop dan Van Heine Geldern. Di lembah Bada, Sulawesi Tengah ditemukan juga du abuah arca yang melambangkan sosok lelaki dan perempuan.
Van Heine Geldern membagi penyebaran kebudayaan megalitikum ke Indonesia menjadi dua gelombang, antara lain sebagai berikut :
1. Megalitikum tua, yang menghasilkan menhir, punden berundak, dan arca-arca statis menyebar ke Indonesia pada zaman neolitikum tahun 2500 - 1500 sebelum Masehi, dibawa oleh pendukung kebudayaan kapak persegi (Proto-Melayu).
2. Megalitikum muda, yang menghasilkan kubur peti batu, dolmen, waruga, sarkofagus, dan arca-arca menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu tahun 1000 - 100 sebelum Masehi, dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu).
4. Zaman Neolithikum (zaman batu baru)
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkidan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan wardanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
Zaman logam
Zaman logam adalah zaman dimana manusia sudah mengenal teknologi pertukangan secara sederhana. Pada masa ini manusia mulai mengenal logam perunggu dan besi. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat dan keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakan pertukangan logam disebut undagi. Maka zaman logam disebut juga zaman perundagian.
Menurut perkembangannya, zaman logam dibagi menjadi 3 zaman, yaitu:
1. Zaman tembaga
Zaman tembaga merupakan zaman di mana manusia sudah dapat mengelolah logam tembaga yang di sesuaikan dengan bentuk-bentuk peralatan yang di butuhkannya, zaman tembaga ini tidak pernah berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia, zaman tembaga berkembang di semedanjung Malaya, kamboja, Thailand, Vietnam.
2. Zaman perunggu
Zaman perunggu adalah masa dalam perkembangan sebuah peradaban ketika kerajidan logam yang paling majutelah mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman perunggu adalah bagian dari system tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah zaman neolitikum di beberapa di wilayah di dunia. Di sebagian besar Afrika subsahara, zaman neolitikum langsung diikuti zaman besi
Pendukung kebudayaan perunggu adlah bangsa deuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan dongson. Keturudannya adalah jawa,bali,bugis,madur,dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara melayu mongoloide (proton melayu dan deuteuro melayu) dan papua melaneside
A. Ciri-ciri zaman perunggu
Berikut ini adalah ciri-ciri zaman perunggu :
1. Pemakaian peralatan dari logam yang dikembangkan dengan teknik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin)
2. Telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin kepala suku yang tinggal di dalam rumah bertiang yang besar
3. Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga muncullah kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam)
B. Hasil kebudayaan di zaman perunggu
1. Kapak corong
Kapak corong adalah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang berguna untuk memasukkan tangkai kayu. Kapak ini ditemukan di Sumatera selatan, Jawa,Bali,Sulawesi tengah,Sulawesi selatan,Selayar dan dekat danau sentani,Papua.
2. Bejana perunggu
Bentuknya bulat panjang, banyak ditemukan di Sumatera dan Jawa
3. Arca perunggu
Arca dari zaman perunggu berupa manusia dan binatang dalam berbagai bentuk. Arca tersebut biasanya digunakan di Bangkidang dan Limbangan
4. Kapal bercadik
Perahu bercadik merupakan perahu khusus dari Indonesia. Perahu ini terbuat dari batang poho yang bagian dalamnya dikeruk hingga berbentuk lesung
3. Zaman besi
Zaman Besi berlangsung pada abad ke-12 SM, di India terjadi pada abad ke-11 SM, Eropa tengah pada abad ke- 8 SM, sedangkan di Eropa Utara terjadi pada abad ke- 6 SM. Peninggalan dari Zaman Besi pun tak begitu banyak dan ditemukan. Hal tersebut sebab sifat besi dan mudah berkarat lalu rusak.
A. Peninggalan zaman besi
Berikut ini beberapa alat-alat produksi maupun perang dan ditemukan dan diperkirakan dibuat pada Zaman Besi.
1. Mata Panah
Mata panah merupakan salah satu alat berburu dan dibuat pada zaman tersebut. Perkembangan mata panah pun memang terjadi seiring dengan budaya dan mengikutinya. Awalnya, mata panah dibuat dengan meruncingkan kayu menggunakan tulang. Batu kemudian pada zaman di mana besi telah bisa diolah buat dijadikan peralatan serta senjata , maka dibuat pula mata panah tersebut. Tentu saja hasilnya akan lebih baik dan awet jika dibanding dengan bahan standar sebelumnya.
Alat ini sering dipakai buat medangkap ikan ataupun berburu hewan-hewan lainnya. Mata panah ini banyak ditemukan di gua-gua dekat sungai. Loka inovasi alat tersebut salah satunya berada di Maros dan Kalumpang (Sulawesi Selatan). Inovasi alat dan terbuat dari besi tersebut di Sulawesi medandakan bahwa di Indonesia juga melewati Zaman Besi. Hal tersebut sebab tak semua negara melalui Zaman Besi, salah satunya Amerika Serikat. Negara tersebut mengenal besi setelah dikolonialisasi oleh Eropa.
2. Perhiasan
Selain peralatan berburu, besi pada zaman tersebut juga dibuat sebagai perhiasan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan banyak ditemukannya perhiasan dan diperkirakan oleh para peneliti dibuat pada Zaman Besi. Perhiasan seperti gelang dan manik-manik merupakan peninggalan pada Zaman Besi dan banyak ditemukan.
3. Mata Pisau
Mata pisau merupakan alat bernilai hemat tinggi. Mata pisau ini bisa digunakan sebagai pertahadan diri dari binatang buas . Berarti pisau ini juga memiliki kegunaan sebagai alat buat melindungi diri atau senjata dan berguna buat melindungi dari binatang buas dan pada waktu itu masih banyak ditemui.
Selain digunakan sebagai alat buat melindungi diri, mata pisau juga dijadikan sebagai alat buat mengumpulkan makadan. Bahan makadan dari hasil buruan maupun tanaman sekitarnya bisa dikumpulkan menggunakan mata pisau ini. Tentu dengan ditemukannya alat tersebut, akan memudahkan manusia buat mengolah makadannya. Alatnya tak terlalu besar seperti kapak, hanya tipis dan kecil, sehingga praktis digunakan.
Mata pisau juga digunakan sebagai alat buat membuat loka perlindungan. Loka konservasi dan dimaksud dapat berupa rumah. Dengan mata pisau, dapat menggunakannya buat mengumpulkan tanaman dan dapat dijadikan atap maupun alas buat loka perlindungannya. Alat ini rupanya sangat multiguna.
4. Mata Sabit
Besi juga dapat dibuat sebagai mata sabit. Mata sabit ditemukan pada zaman besi diduga digunakan sebagai menyabit tumbuhan. Kegunaannya hampir sama dengan mata pisau. Alat ini hanya sedikit besar dibanding dengan mata pisau. Sampai saat ini, sabit masih digunakan sebagai alat pertanian.
5. Mata Pedang
Pedang pertama kali diperkirakan dipakai oleh bangsa Hittie, Myceania, Yudani, dan Proto-Celtit Halstatt. Besi pada waktu itu memang tersedia dalam jumlah dan banyak. Tidak heran jika kemudian manusia dan mulai berkembang akal pikirannya mengubah biji besi menjadi peralatan perang dari besi. Pembuatan pedang awalnya memiliki kualitas dan sangat buruk. Bahkan, hasil dari besi terbaik membuat sebuah pedang dan lebih buruk dari perunggu.
Setelah melakukan beberapa penelitian, maka ditemukanlah campuran pembuatan pedang besi agar tak mudah ringkih dan lunak. Karbon merupakan bahan tambahan dan dipercaya akan membuat besi menghasilkan pedang dengan kualitas bagus. Saat ini, besi campuran karbon tersebut dikenal dengan besi baja. Pada zaman ini pula, ditemukan bagaimana pola membuat pedang .
Pedang merupakan peralatan perang dan memiliki prastise tinggi. Pedang biasanya dibuat lebih panjang. Pedang juga dapat dibuat bermata dua maupun bermata tunggal. Pedang juga memiliki beberapa jenis, di antaranya pedang bermata ganda, pedang bermata tunggal, pedang satu tangan, serta pedang dua tangan.
6. Perisai Perunggu
Perisai perunggu ini diyakini merupakan peninggalan pada zaman besi. Keberadaan perisai ini diyakini dibuat pada 300 SM. Perisai dan diyakini merupakan perhiasan peninggalan bangsa Kelt ini pertama kali ditemukan dilapisi dengan kerangka kayu di Sungai Witham di dekat Lincoln, Inggris
Batu karang dari kawasan Mediterania serta potongan kulit babi hutan juga menghiasi bagian belakang perisai ini. Hal tersebut medandakan bahwa perisai ini merupakan barang berharga di zaman pembuatannya. Hal tersebut bisa dilihat dari penyimpadan dan begitu rapi. Perisai ini kemudian dikenal dengan nama The Witham Shield.
Perisai dan ditemukan pada 1826 ini lalu dijual pada seorang kolektor dari London pada 1831. Namun, perisai ini setelah lama dipajang di Museum British melalui negosiasi dan baik bisa dipajang di Museum Lincolnshire, daerah ditemukannya perisai ini, buat beberapa saat. Hal tersebut tentu membuat warganya sedikit berbangga hati dapat menyaksikan perisai tersebut.
sumber: www.pendidikan4sejarah.blogspot.com
www.sejarahbudayanusantara.weebly.com
www.slideshare.net
Batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa tersebut. Salah satu contoh yaitu bangsa Mesir sekitar tahun 4000 SM masyarakatnya sudah mengenal tulisan, sehingga pada saat itu, bangsa Mesir sudah memasuki zaman sejarah. Zaman prasejarah di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti yang berbentuk yupa yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Berdasarkan perkembangannya zaman pra-sejarah dibagi menjadi 2 yaitu: zaman batu dan zaman logam
Zaman Batu
Zaman batu adalah zaman paling tua dalam sejarah. Disebut zaman batu karena sebagian besar alat-alat yang digunakan pada zaman ini berasal dari batu
Berdasarkan perkembangannya, zaman batu dibagi menjadi 4 zaman, yaitu:
A. Zaman Paleolithikum (zaman batu)
Zaman Paleolitikum adalah zaman yang paling tua dalam zaman prasejarah. Alat yang digunakan pada zaman ini masih sangat kasar. Dominannya, alat yang digunakan pada zaman ini berasal dari batu,kayu dan tulang. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Zaman paleolitikum diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium).
Jika dilihat dari mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makadan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Zaman ini juga memiliki 2 kebudayaan, yaitu Pacitan dan Ngandong.
Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang zaman paleolitikum
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soloensis.
a. Pithecanthropus Erectus
Ditemukan pertama kali oleh Eugene Dubois, di daerah Trinil pada tahun 1891. Nama pithecanthropus sendiri memiliki arti “manusia-kera yang dapat berdiri”
b. Homo Wajakensis
Fosil Homo wajakensis ditemukan oleh Van Riestchoten pada tahun 1889 di Desa Wajak, Tulungagung. Fosil ini kemudian diteliti oleh Eugene Dubois. Temuan fosil ini merupakan temuan fosil manusia purba pertama yang dilaporkan berasal dari Indonesia.
c. Homo Soloensis
Ditemukan oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan Von Koenigswald pada tahun 1931—1933 di daerah Ngandong
d. Meganthropus Paleojavanicus
Ditemukan oleh Von Koenigswald di Sangiran, lembah Bengawan Solo pada tahun 1936-941.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong). Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
4. Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
2. Zaman Mesolitikum (zaman batu tengah)
Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa zaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbudan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yaitu antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
b. Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
c. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang ditemukan dalam bukit kerang, ditemukan juga sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan para arkeolog itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
a. Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, Oleh karena itu Fritz Sarasin dan Paul Sarasin berpendapat bahwa suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkidan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kedang-kedangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
3. Zaman Megalithikum (zaman batu besar)
Megalitikum merupakan kebudayaan yang menghasilkan bangudan-bangudan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Bangudan megalitikum ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormati dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Kebudayaan megalitikum muncul pada zaman neolitikum dan berkembang luas pada zaman logam
Peninggalan megalitikum hampir menyebar di seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai sekarang pun masih ditemukan tradisi megalitikum seperti di Pulau Nias, Sumba, Flores, dan Toraja. Hasil-hasil kebudayaan zaman batu besar adalah sebagai berikut :
1. Punden berundak
Punden berundak adalah bangudan pemujaan para leluhur berupa bangudan bertingkat dengan bahan dari batu, di atasnya biasa didirikan menhir. Bangudan ini banyak dijumpai di Kosala dan Arca Domas Banten, Cisolok Sukabumi, serta Pugungharjo di Lampung. Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupaan dasar pembuatan candi, keratin atau bangudan keagamaan lainnya.
2. Menhir (men = batu, hir = tegak/berdiri)
Menhir ialah tiang atau tugu yang terbuat dari batu yang didiikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga menjadi benda pujaan dan ditempatkan pada suatu tempat. Fungsi menhir adalah sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, sebagai tempat memperingati seseorang (kepala suku) yang telah meninggal, dan sebagai tempat menampung kedatangan roh.
Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Dalam upacara pemujaan, menhir juga berfungsi sebagai tempat untuk menambahkan hewan kurban. Tempat-tempat temuan menhir di Indonesia antara lain di : Pasemah (Sumatra Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala dan Lebak Sibedug, Leles, Karang Muara, Cisolok (Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa Timur), Trunyan dan Sembiran (Bali), Belu (Timor), Bada-Besoha, dan Toraja, Sulawesi.
3. Kubur peti batu
Kubur peti batu adalah peti jenazah yang terpendam di dalam tanah yang berbentuk persegi panjang, sisi, alas, dan tutupnya terbuat dari papan batu. Benda ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat.
4. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat dengan tutup berbentuk atap rumah. Bentuk dan fungsi waruga seperti sarkofagus, tetapi dengan penempatan posisi mayat jongkok terlipat. Waruga hanya dapat ditemukan di Minahasa.
5. Sarkofagus
Sarkofagus atau keranda adalah peti jenazah yang bentuknya seperti lesung, tetapi mempunyai tutup. Pembuatannya seperti lesung batu, tetapi bentuknya seperti keranda. Salah satu tempat penemuan sarkofagus adalah di Bali. Isinya tulang-belulang manusia, barang-barang perunggu dan besi, serta manik-manik. Sarkofagus juga ditemukan di Bondowoso, Jawa Timur. Untuk melindungi roh jasad yang sudah mati dari gangguan gaib, pada sarkofagus sering dipahatkan motif kedok/topeng dengan berbagai ekspresi. Sarkofagus dapat juga diartikan sebagai "perahu roh" untuk membawa roh berlayar ke dunia roh.
6. Dolmen (dol = meja, men = batu)
DolmenDolmen adalah meja batu besar dengan permukaan rata sebagai tempat meletakkan sesaji, sebagai tempat meletakkan roh, dan menjadi tempat duduk ketua suku agar mendapat berkat magis dari leluhurnya. Dolmen ada yang berkakikan menhir seperti yang ditemukan di Pasemah, Sumatra Selatan, ada juga yang digunakan sebagai kubur batu seperti yang ditemukan di Bondowoso dan di Merawan, Jember, Jawa Timur.
7. Arca atau patung
Arca atau patung adalah bangudan yang terbuat dari batu berbentuk binatang atau manusia yang melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan. Peninggalan megalitik ini banyak ditemukan di dataran tinggi Pasemah, yaitu pegunungan antara wilayah Palembang dan Bengkulu.
Penyelidikan di Pasemah ini dilakukan oleh Dr. Van der Hoop dan Van Heine Geldern. Di lembah Bada, Sulawesi Tengah ditemukan juga du abuah arca yang melambangkan sosok lelaki dan perempuan.
Van Heine Geldern membagi penyebaran kebudayaan megalitikum ke Indonesia menjadi dua gelombang, antara lain sebagai berikut :
1. Megalitikum tua, yang menghasilkan menhir, punden berundak, dan arca-arca statis menyebar ke Indonesia pada zaman neolitikum tahun 2500 - 1500 sebelum Masehi, dibawa oleh pendukung kebudayaan kapak persegi (Proto-Melayu).
2. Megalitikum muda, yang menghasilkan kubur peti batu, dolmen, waruga, sarkofagus, dan arca-arca menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu tahun 1000 - 100 sebelum Masehi, dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu).
4. Zaman Neolithikum (zaman batu baru)
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkidan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan wardanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
Zaman logam
Zaman logam adalah zaman dimana manusia sudah mengenal teknologi pertukangan secara sederhana. Pada masa ini manusia mulai mengenal logam perunggu dan besi. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat dan keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakan pertukangan logam disebut undagi. Maka zaman logam disebut juga zaman perundagian.
Menurut perkembangannya, zaman logam dibagi menjadi 3 zaman, yaitu:
1. Zaman tembaga
Zaman tembaga merupakan zaman di mana manusia sudah dapat mengelolah logam tembaga yang di sesuaikan dengan bentuk-bentuk peralatan yang di butuhkannya, zaman tembaga ini tidak pernah berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia, zaman tembaga berkembang di semedanjung Malaya, kamboja, Thailand, Vietnam.
2. Zaman perunggu
Zaman perunggu adalah masa dalam perkembangan sebuah peradaban ketika kerajidan logam yang paling majutelah mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman perunggu adalah bagian dari system tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah zaman neolitikum di beberapa di wilayah di dunia. Di sebagian besar Afrika subsahara, zaman neolitikum langsung diikuti zaman besi
Pendukung kebudayaan perunggu adlah bangsa deuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan dongson. Keturudannya adalah jawa,bali,bugis,madur,dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara melayu mongoloide (proton melayu dan deuteuro melayu) dan papua melaneside
A. Ciri-ciri zaman perunggu
Berikut ini adalah ciri-ciri zaman perunggu :
1. Pemakaian peralatan dari logam yang dikembangkan dengan teknik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin)
2. Telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin kepala suku yang tinggal di dalam rumah bertiang yang besar
3. Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga muncullah kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam)
B. Hasil kebudayaan di zaman perunggu
1. Kapak corong
Kapak corong adalah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang berguna untuk memasukkan tangkai kayu. Kapak ini ditemukan di Sumatera selatan, Jawa,Bali,Sulawesi tengah,Sulawesi selatan,Selayar dan dekat danau sentani,Papua.
2. Bejana perunggu
Bentuknya bulat panjang, banyak ditemukan di Sumatera dan Jawa
3. Arca perunggu
Arca dari zaman perunggu berupa manusia dan binatang dalam berbagai bentuk. Arca tersebut biasanya digunakan di Bangkidang dan Limbangan
4. Kapal bercadik
Perahu bercadik merupakan perahu khusus dari Indonesia. Perahu ini terbuat dari batang poho yang bagian dalamnya dikeruk hingga berbentuk lesung
3. Zaman besi
Zaman Besi berlangsung pada abad ke-12 SM, di India terjadi pada abad ke-11 SM, Eropa tengah pada abad ke- 8 SM, sedangkan di Eropa Utara terjadi pada abad ke- 6 SM. Peninggalan dari Zaman Besi pun tak begitu banyak dan ditemukan. Hal tersebut sebab sifat besi dan mudah berkarat lalu rusak.
A. Peninggalan zaman besi
Berikut ini beberapa alat-alat produksi maupun perang dan ditemukan dan diperkirakan dibuat pada Zaman Besi.
1. Mata Panah
Mata panah merupakan salah satu alat berburu dan dibuat pada zaman tersebut. Perkembangan mata panah pun memang terjadi seiring dengan budaya dan mengikutinya. Awalnya, mata panah dibuat dengan meruncingkan kayu menggunakan tulang. Batu kemudian pada zaman di mana besi telah bisa diolah buat dijadikan peralatan serta senjata , maka dibuat pula mata panah tersebut. Tentu saja hasilnya akan lebih baik dan awet jika dibanding dengan bahan standar sebelumnya.
Alat ini sering dipakai buat medangkap ikan ataupun berburu hewan-hewan lainnya. Mata panah ini banyak ditemukan di gua-gua dekat sungai. Loka inovasi alat tersebut salah satunya berada di Maros dan Kalumpang (Sulawesi Selatan). Inovasi alat dan terbuat dari besi tersebut di Sulawesi medandakan bahwa di Indonesia juga melewati Zaman Besi. Hal tersebut sebab tak semua negara melalui Zaman Besi, salah satunya Amerika Serikat. Negara tersebut mengenal besi setelah dikolonialisasi oleh Eropa.
2. Perhiasan
Selain peralatan berburu, besi pada zaman tersebut juga dibuat sebagai perhiasan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan banyak ditemukannya perhiasan dan diperkirakan oleh para peneliti dibuat pada Zaman Besi. Perhiasan seperti gelang dan manik-manik merupakan peninggalan pada Zaman Besi dan banyak ditemukan.
3. Mata Pisau
Mata pisau merupakan alat bernilai hemat tinggi. Mata pisau ini bisa digunakan sebagai pertahadan diri dari binatang buas . Berarti pisau ini juga memiliki kegunaan sebagai alat buat melindungi diri atau senjata dan berguna buat melindungi dari binatang buas dan pada waktu itu masih banyak ditemui.
Selain digunakan sebagai alat buat melindungi diri, mata pisau juga dijadikan sebagai alat buat mengumpulkan makadan. Bahan makadan dari hasil buruan maupun tanaman sekitarnya bisa dikumpulkan menggunakan mata pisau ini. Tentu dengan ditemukannya alat tersebut, akan memudahkan manusia buat mengolah makadannya. Alatnya tak terlalu besar seperti kapak, hanya tipis dan kecil, sehingga praktis digunakan.
Mata pisau juga digunakan sebagai alat buat membuat loka perlindungan. Loka konservasi dan dimaksud dapat berupa rumah. Dengan mata pisau, dapat menggunakannya buat mengumpulkan tanaman dan dapat dijadikan atap maupun alas buat loka perlindungannya. Alat ini rupanya sangat multiguna.
4. Mata Sabit
Besi juga dapat dibuat sebagai mata sabit. Mata sabit ditemukan pada zaman besi diduga digunakan sebagai menyabit tumbuhan. Kegunaannya hampir sama dengan mata pisau. Alat ini hanya sedikit besar dibanding dengan mata pisau. Sampai saat ini, sabit masih digunakan sebagai alat pertanian.
5. Mata Pedang
Pedang pertama kali diperkirakan dipakai oleh bangsa Hittie, Myceania, Yudani, dan Proto-Celtit Halstatt. Besi pada waktu itu memang tersedia dalam jumlah dan banyak. Tidak heran jika kemudian manusia dan mulai berkembang akal pikirannya mengubah biji besi menjadi peralatan perang dari besi. Pembuatan pedang awalnya memiliki kualitas dan sangat buruk. Bahkan, hasil dari besi terbaik membuat sebuah pedang dan lebih buruk dari perunggu.
Setelah melakukan beberapa penelitian, maka ditemukanlah campuran pembuatan pedang besi agar tak mudah ringkih dan lunak. Karbon merupakan bahan tambahan dan dipercaya akan membuat besi menghasilkan pedang dengan kualitas bagus. Saat ini, besi campuran karbon tersebut dikenal dengan besi baja. Pada zaman ini pula, ditemukan bagaimana pola membuat pedang .
Pedang merupakan peralatan perang dan memiliki prastise tinggi. Pedang biasanya dibuat lebih panjang. Pedang juga dapat dibuat bermata dua maupun bermata tunggal. Pedang juga memiliki beberapa jenis, di antaranya pedang bermata ganda, pedang bermata tunggal, pedang satu tangan, serta pedang dua tangan.
6. Perisai Perunggu
Perisai perunggu ini diyakini merupakan peninggalan pada zaman besi. Keberadaan perisai ini diyakini dibuat pada 300 SM. Perisai dan diyakini merupakan perhiasan peninggalan bangsa Kelt ini pertama kali ditemukan dilapisi dengan kerangka kayu di Sungai Witham di dekat Lincoln, Inggris
Batu karang dari kawasan Mediterania serta potongan kulit babi hutan juga menghiasi bagian belakang perisai ini. Hal tersebut medandakan bahwa perisai ini merupakan barang berharga di zaman pembuatannya. Hal tersebut bisa dilihat dari penyimpadan dan begitu rapi. Perisai ini kemudian dikenal dengan nama The Witham Shield.
Perisai dan ditemukan pada 1826 ini lalu dijual pada seorang kolektor dari London pada 1831. Namun, perisai ini setelah lama dipajang di Museum British melalui negosiasi dan baik bisa dipajang di Museum Lincolnshire, daerah ditemukannya perisai ini, buat beberapa saat. Hal tersebut tentu membuat warganya sedikit berbangga hati dapat menyaksikan perisai tersebut.
sumber: www.pendidikan4sejarah.blogspot.com
www.sejarahbudayanusantara.weebly.com
www.slideshare.net